Tampilkan postingan dengan label Cerita Bali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Bali. Tampilkan semua postingan

Pakaian daerah khas BALI

Pakaian daerah Bali sesungguhnya sangat bervariasi, meskipun secara selintas kelihatannya sama. Masing-masing daerah di Bali mempunyai ciri khas simbolik dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dan ekonomi seseorang dapat diketahui berdasarkan corak busana dan ornamen perhiasan yang dipakainya.

Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
Udeng (ikat kepala)
Kain kampuh
Umpal (selendang pengikat)
Kain wastra (kemben)
Sabuk
Keris
Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.


Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
Gelung (sanggul)
Sesenteng (kemben songket)
Kain wastra
Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
Selendang songket bahu ke bawah
Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.




Pakaian daerah khas BALI

Pakaian daerah Bali sesungguhnya sangat bervariasi, meskipun secara selintas kelihatannya sama. Masing-masing daerah di Bali mempunyai ciri khas simbolik dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dan ekonomi seseorang dapat diketahui berdasarkan corak busana dan ornamen perhiasan yang dipakainya.

Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
Udeng (ikat kepala)
Kain kampuh
Umpal (selendang pengikat)
Kain wastra (kemben)
Sabuk
Keris
Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.


Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
Gelung (sanggul)
Sesenteng (kemben songket)
Kain wastra
Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
Selendang songket bahu ke bawah
Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.




Joged bumbung Ala Bali



 Joged adalah tari pergaulan yang sangat populer di Bali. Tari ini memiliki pola-pola gerak yang bebas, lincah, dan dinamis. Gerak-gerak dasar tari ini diambil dari Legong maupun Tari Kekebyaran, dan dibawakan secara improvisasi. Joged biasanya dipentaskan untuk perayaan sehabis panen atau pada acara hiburan pada hari-hari penting di Bali.

Tari Joged mempunyai banyak macam, meliputi: Joged Bumbung, Joged Pingitan, Joged Gebyog, Joged Pudengan (Udengan), dan Gandrung. Kecuali Joged Pingitan yang memakai lakon Calonarang, semua pertunjukan Joged selalu ditarikan secara berpasangan laki-perempuan dengan mengundang partisipasi penonton untuk ngibing. Bagian tersebut dinamakan paibing-ibingan. Pada bagian tersebut, penari Joged memilih (nyawat) penonton laki untuk diajak menari bersama di arena pentas.

Sebagai sebuah kesenian rakyat, tari Joged diiringi dengan barungan ngamelan yang didominasi oleh instrumen-instrumen bambu.

Di antara semua jenis Joged yang ada di Bali, Joged Bumbunglah yang paling populer di Bali. Joged yang diiringi grantangan yaitu gamelan tingklik bambu berlaras slendro ini diperkirakan muncul pada tahun 1946 di Bali Utara.


 

Joged bumbung Ala Bali



 Joged adalah tari pergaulan yang sangat populer di Bali. Tari ini memiliki pola-pola gerak yang bebas, lincah, dan dinamis. Gerak-gerak dasar tari ini diambil dari Legong maupun Tari Kekebyaran, dan dibawakan secara improvisasi. Joged biasanya dipentaskan untuk perayaan sehabis panen atau pada acara hiburan pada hari-hari penting di Bali.

Tari Joged mempunyai banyak macam, meliputi: Joged Bumbung, Joged Pingitan, Joged Gebyog, Joged Pudengan (Udengan), dan Gandrung. Kecuali Joged Pingitan yang memakai lakon Calonarang, semua pertunjukan Joged selalu ditarikan secara berpasangan laki-perempuan dengan mengundang partisipasi penonton untuk ngibing. Bagian tersebut dinamakan paibing-ibingan. Pada bagian tersebut, penari Joged memilih (nyawat) penonton laki untuk diajak menari bersama di arena pentas.

Sebagai sebuah kesenian rakyat, tari Joged diiringi dengan barungan ngamelan yang didominasi oleh instrumen-instrumen bambu.

Di antara semua jenis Joged yang ada di Bali, Joged Bumbunglah yang paling populer di Bali. Joged yang diiringi grantangan yaitu gamelan tingklik bambu berlaras slendro ini diperkirakan muncul pada tahun 1946 di Bali Utara.


Sejarah Gunung Batur-Bali






Gunung Batur yang terletak di Kintamani, Kab. Bangli merupakan Gunung tertinggi kedua di Bali setelah Gunung Agung. Memiliki ketinggian 1717 mdpl, Gunung Batur termasuk Gunung Api yg aktif. Terakhir meletus pada tahun 2000. Letusan besar pada 2 Agustus dan 21 September 1926 memusnahkan Pura Ulun Danu Batur dan desa Batur.
Dalam lontar Candi Supralingga Bhuana dikemukakan keadaan Bali Dwipa dan Seleparang masih sunyi senyap, seolah masih mengambang di tenga samudra yang luas.
Pada saat itu di Bali Dwipa baru ada empat buah Gunung, yaitu :
  1. Gunung Lempuyang di Bagian Timur
  2. Gunung Andakasa di Bagian Selatan
  3. Gunung Karu di Bagian Barat
  4. Gunung Beratan (Mangu) di Bagian Utara
Sehingga keadaan Bali Dwipa pada saat itu masih labil dan goyah. Keadaan ini kemudian diketahui oleh Hyang Paspati yang beristana/berParahyangan di Gunung Semeru (Sampai saat ini masyarakat Hindu Bali masih menganggap bahwa Gunung Semeru adalah salah satu Pura Utama). Agar Bali menjadi stabil (Tegteg) Hyang Pasupati kemudian memerintahkan SangHyang Benawang Nala, SangHyang Naga Anantaboga, SangHyang Naga Besukih dan SangHyang Naga Tatsaka memindahkan sebagian puncak Gunung Semeru ke Bali. SangHyang Benawang Nala menjadi dasar puncak Gunung Semeru yang akan dipindahkan ke Bali. SangHyang Naga Anantaboga dan SangHyang Naga Besukih menjadi tali pengikatnya. Sedangkan SangHyang Naga Tatsaka disampig menjadi pengikat puncak Gunung Semeru yang akan dipindahkan ke Bali, juga sekaligus menerbangkan dari Jawa Dwipa Wetan ke Bali. Kemudian setelah tiba di Bali, bagian puncak gunung Semeru yang dibawakan dengan tangan kanan menjadi Gunung Udaya Purwata/Tohlangkir/Gunung Agung.yang dibawa dengan tangan kiri menjadi Gunung Cala Lingga atau kemudian disebut Gunung Batur (Nama lain dari Gunung Batur dulunya adalah Gunung TampurHyang/Gunung Sinarata/Gunung Lekeh/Gunung Lebah/Gunung Ideran/Gunung Sari/Gunung Indrakila/Gunung Kembar/Gunung Catur)
Kedua gunung inilah yang kemudian dikenal sebagai Dwi Lingga Giri,yang menjadi Parahyangan Purusa Peredana (Tempat bersemayamnya paa Dewa penguasa alam raya). Selain memerintah SangHyang Benawang nala, SangHyang Naga Aantaboga, SangHyang Naga Besukih, dan SangHyang Naga Tatsaka; Hyang Pasupati juga menugaskan putra-putranya ke Bali Dwipa, yaitu :
I. Dwi Linga Giri Purusa Predana :
a. Pura Kahyangan Besakih (Purusa)
b. Pura Kahyangan Ulun danu Batur (Segara Danu sebagai Predana)
II. Tri Lingga Giri :
a. Pura Lempuyang Luhur (Brahma)
b. Pura Besakih (Siwa)
c. Pura Ulun Danu Batur (Wisnu)
III. Sapta Lingga Giri
a. Hyang Geni Jaya Ring Gunung Lempuyang, paraHyangNya (Maksud dari paraHyangNya adalah berdiam/bersemayam. Sedangkan Nya adalah kata ganti dari Tuhan/Dewa) di Pura Lempuyang Luhur
b. Hyang Putra Jaya ring Gunung Udaya Parwata/Gunung Tohlangkir/Gunung Agung, paraHyangNya di Pura Besakih
c. Hyang Dewi Danu ring Gunung Cala Lingga/Gunung Batur (Atau Gunung Sinarata/Gunung Tampurhyang/Gunung Lekeh/Gunung Ideran/Gunung Indrakila/Gunung Kembar/Gunung Sari)
d. Hyang Tumuwuh ring Gunung Batukara, paraHyanganNya di Pura Watukaru.
e. Hyang Tugu ring Gunung Andakasa, paraHyangNya di Pura Andakasa
f. Hyang Manuk Gumuwang ring gunung Beratan/Puncak Mangu/Puncak Tinggahan, paraHyangNya di Pura Ulun Danu Beratan/Pura Tinggahan.
g. Hyang Manik Gayang/Galang ring Pejeng, parahyangNya di Pura Manik Corong.
Putra-putra Hyang Pasupati inilah yang kemudian menjadi Amongan, Sungsungan dan Penyiwian, Ratu Muang Kaula di Bali Dwipa. Salah seorang Putra Hyang Pasupati yaitu Hyang Dewi Danu dalam bahasa Purana adalah Dewi Sri, Dewi Laksmi, Dewi Pratiwi, dan Dewi Basundari yang semuanya merupakan Abiseka Dasa Nama (mempunyai nama lain) Dewi Kesuburan, Dewi Kesejahteraan, dan Kewi Keberuntungan Sakti Dewa Wisnu (Dewa Wisnu merupakan Dewa Pemelihara Alam).


3.1 Kronologis Pembentukan Kaldera Batur
Gunung Bumbulan (bubulan, dungulan, penulisan), Gunung Payang, dan Gunung Abang menjadi satu dengan Gunung Batur Purba yang ketinggiannya mencapai 3500 mdpl. Amblasnya bagian kerucut yang membentuk kaldera satu, kira-kira 29.300 SM, dimana Gunung Abang berdiri sendiri dengan ketinggian lebih kurang 2.152 mdpl. Amblas kedua kalinya, kira-kira 20.150 SM, dimana kerucut Gunung Payang, kerucut Gunung Bumbulan/Penulisan membentuk undagan Kintamani.
Lama kelamaan muncul Gunung Kecil (anak Gunung Batur Purba) di tengah danau Batur berpucak Dua (pucak Kanginan dan pucak Kawanan). Maka dari itu desa Pekraman Batur ada dua Jero, yaitu Jero Gede Kanginan (dijabat oleh Jero Gede Duhuran Puri Kanginan), dan Jero Gede Kawanan (dijabat oleh Jero Gede Alitan Puri Kawanan).
Nama Gunung Sebelum Bernama Gunung Batur
1. Gunung Cala Lingga (Cala = tidak bergerak dan tidak dibuat oleh manusia; Lingga = Tempat abadi para Dewa)
2. Gunung Sinarata (Merata kena sinar matahari)
3. Gunung TampurHyang/Tempuh Hyang (Tanda Ida Betara dalam perjalanan yang digonggong (dipikul) oleh pamucangan)
4. Gunung Lebah (rendah)
5. Gunung Ederan (dikelilingi Bukit)
6. Gunung Lekeh (meingkar)
7. Gunung Sari (Inti/Utama)
8. Gunung Indrakila (dikelilingi Munduk)
9. Gunung Kembar (berpuncak dua)
10. Gunung Catur (Gunung berempat)
11. Gunung Batur (Gunung Dasar)
Catatan Meletusnya Gunung Batur
Berdasarkan isi lontar Raja Puranan Pura Ulun Danu Batur di Batur bagian Babad Pati Sora dijelaskan pada tahun Candra Sangkala :
  1. Angeseng Sasi Wak yaitu tahun Saka 110 (188 Masehi), Gunung Batur meletus
  2. Wang Sasi Wak yaitu tahun Saka 111 (189 Masehi), Gunung Batur meletus
  3. Tahun Saka 112 (190 Masehi), Gunung Teluk Biyu meletus
  4. Wedang Sumiranting, ksiti yaitu Tahun Saka 114 (192 Masehi), Gunung Batur meletus.
  5. Dari tahun 1804 – 2000 Gunung Batur meletus sebanyak 30 kali. Letusan yang paling dahsyat yaitu pada tanggal 2 Agustus – 21 September 1926 jam 23.00 WITA yang laharnya menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Dengan pertolongan pemerintah Hindia Belanda, para narapidana, serta Batun Sendi Ida Betara (Bayung Gede, Sekardadi, Bonyoh, Selulung, Sribatu, Buahan, Kedisan, Abang, Trunyan, dll) seisi Desa Batur dapat menyelamatkan diri. Termasuk pusaka-pusaka seperti Gong Gede, Semar Kirang bale Pelinggih Mamas-mamas (tombak Lerontek). Semuanya diselamatkan ke Desa Bayung Gede. Setelah pindah ke Di Desa Bayung Gede ini pernah di adakan Puja Wali sebanyak dua kali. Kemudian karena merasa telah aman, penduduk Desa Batur yang sementara mengungsi ke Desa Bayung Gede ingin kembali ke lokasi desa mereka kembali. Namun tidak diijinkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan alasan keselamatan masyarakat. Di tempat baru tersebut, yang disebut Kalanganyar, penduduk Desa Batur diberi lahan dengan ketentuan yang sudah berkeluarga sebanyak 3 are dan untuk Duda/Janda mendapat 1,5 are. Selama menghuni Kalanganyar, para penduduk Desa Batur tetap berupaya membagun kembali Pura Ulun Danu Batur di tempat semula. Setelah beberapa tahun, tepatnya pada bulan April 1935, dilaksanakan Ngusaba Kedesa untuk pertama kali di Pura Ulun Danu Batur yang baru tersebut.
Pada tahun 1963, 6 bulan setelah meletusnya Gunung Agung, terjadi kembali letusan Gunung Batur yang cukup besar. Korban jiwa pada saat itu tidak ada. Letusan ini kembali menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Sehingga semua penduduk mengungsi dan pindah desa ke lokasi desa Batur sekarang ini.
Ada cerita menarik yang disampaikan oleh Jero Gede Alitan Puri Kawanan, yaitu pada saat lahar mau memasuki desa Batur, lahar tersebut berhenti. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk menyelamatkan barang-barang mereka. Bahkan ada yang sempat memanen bawang di ladangnya terlebih dahulu. Setelah semua barang-barang dan hasil kebun mereka selamat, lahar yang tadinya berhenti bergerak kembali menuju arah desa sampai menimbun seluruh desa tersebut.
Setelah pindah desa tersebut, kecuali terkena debu, sampai saat ini tidak pernah terkena dampak langsung dari letusan Gunung Batur.

Sejarah Gunung Batur-Bali





Gunung Batur yang terletak di Kintamani, Kab. Bangli merupakan Gunung tertinggi kedua di Bali setelah Gunung Agung. Memiliki ketinggian 1717 mdpl, Gunung Batur termasuk Gunung Api yg aktif. Terakhir meletus pada tahun 2000. Letusan besar pada 2 Agustus dan 21 September 1926 memusnahkan Pura Ulun Danu Batur dan desa Batur.


Dalam lontar Candi Supralingga Bhuana dikemukakan keadaan Bali Dwipa dan Seleparang masih sunyi senyap, seolah masih mengambang di tenga samudra yang luas.

Pada saat itu di Bali Dwipa baru ada empat buah Gunung, yaitu :

  1. Gunung Lempuyang di Bagian Timur
  2. Gunung Andakasa di Bagian Selatan
  3. Gunung Karu di Bagian Barat
  4. Gunung Beratan (Mangu) di Bagian Utara

Sehingga keadaan Bali Dwipa pada saat itu masih labil dan goyah. Keadaan ini kemudian diketahui oleh Hyang Paspati yang beristana/berParahyangan di Gunung Semeru (Sampai saat ini masyarakat Hindu Bali masih menganggap bahwa Gunung Semeru adalah salah satu Pura Utama). Agar Bali menjadi stabil (Tegteg) Hyang Pasupati kemudian memerintahkan SangHyang Benawang Nala, SangHyang Naga Anantaboga, SangHyang Naga Besukih dan SangHyang Naga Tatsaka memindahkan sebagian puncak Gunung Semeru ke Bali. SangHyang Benawang Nala menjadi dasar puncak Gunung Semeru yang akan dipindahkan ke Bali. SangHyang Naga Anantaboga dan SangHyang Naga Besukih menjadi tali pengikatnya. Sedangkan SangHyang Naga Tatsaka disampig menjadi pengikat puncak Gunung Semeru yang akan dipindahkan ke Bali, juga sekaligus menerbangkan dari Jawa Dwipa Wetan ke Bali. Kemudian setelah tiba di Bali, bagian puncak gunung Semeru yang dibawakan dengan tangan kanan menjadi Gunung Udaya Purwata/Tohlangkir/Gunung Agung.yang dibawa dengan tangan kiri menjadi Gunung Cala Lingga atau kemudian disebut Gunung Batur (Nama lain dari Gunung Batur dulunya adalah Gunung TampurHyang/Gunung Sinarata/Gunung Lekeh/Gunung Lebah/Gunung Ideran/Gunung Sari/Gunung Indrakila/Gunung Kembar/Gunung Catur)


Kedua gunung inilah yang kemudian dikenal sebagai Dwi Lingga Giri,yang menjadi Parahyangan Purusa Peredana (Tempat bersemayamnya paa Dewa penguasa alam raya). Selain memerintah SangHyang Benawang nala, SangHyang Naga Aantaboga, SangHyang Naga Besukih, dan SangHyang Naga Tatsaka; Hyang Pasupati juga menugaskan putra-putranya ke Bali Dwipa, yaitu :

I. Dwi Linga Giri Purusa Predana :

a. Pura Kahyangan Besakih (Purusa)

b. Pura Kahyangan Ulun danu Batur (Segara Danu sebagai Predana)

II. Tri Lingga Giri :

a. Pura Lempuyang Luhur (Brahma)

b. Pura Besakih (Siwa)

c. Pura Ulun Danu Batur (Wisnu)

III. Sapta Lingga Giri

a. Hyang Geni Jaya Ring Gunung Lempuyang, paraHyangNya (Maksud dari paraHyangNya adalah berdiam/bersemayam. Sedangkan Nya adalah kata ganti dari Tuhan/Dewa) di Pura Lempuyang Luhur

b. Hyang Putra Jaya ring Gunung Udaya Parwata/Gunung Tohlangkir/Gunung Agung, paraHyangNya di Pura Besakih

c. Hyang Dewi Danu ring Gunung Cala Lingga/Gunung Batur (Atau Gunung Sinarata/Gunung Tampurhyang/Gunung Lekeh/Gunung Ideran/Gunung Indrakila/Gunung Kembar/Gunung Sari)

d. Hyang Tumuwuh ring Gunung Batukara, paraHyanganNya di Pura Watukaru.

e. Hyang Tugu ring Gunung Andakasa, paraHyangNya di Pura Andakasa

f. Hyang Manuk Gumuwang ring gunung Beratan/Puncak Mangu/Puncak Tinggahan, paraHyangNya di Pura Ulun Danu Beratan/Pura Tinggahan.

g. Hyang Manik Gayang/Galang ring Pejeng, parahyangNya di Pura Manik Corong.


Putra-putra Hyang Pasupati inilah yang kemudian menjadi Amongan, Sungsungan dan Penyiwian, Ratu Muang Kaula di Bali Dwipa. Salah seorang Putra Hyang Pasupati yaitu Hyang Dewi Danu dalam bahasa Purana adalah Dewi Sri, Dewi Laksmi, Dewi Pratiwi, dan Dewi Basundari yang semuanya merupakan Abiseka Dasa Nama (mempunyai nama lain) Dewi Kesuburan, Dewi Kesejahteraan, dan Kewi Keberuntungan Sakti Dewa Wisnu (Dewa Wisnu merupakan Dewa Pemelihara Alam).





3.1 Kronologis Pembentukan Kaldera Batur

Gunung Bumbulan (bubulan, dungulan, penulisan), Gunung Payang, dan Gunung Abang menjadi satu dengan Gunung Batur Purba yang ketinggiannya mencapai 3500 mdpl. Amblasnya bagian kerucut yang membentuk kaldera satu, kira-kira 29.300 SM, dimana Gunung Abang berdiri sendiri dengan ketinggian lebih kurang 2.152 mdpl. Amblas kedua kalinya, kira-kira 20.150 SM, dimana kerucut Gunung Payang, kerucut Gunung Bumbulan/Penulisan membentuk undagan Kintamani.

Lama kelamaan muncul Gunung Kecil (anak Gunung Batur Purba) di tengah danau Batur berpucak Dua (pucak Kanginan dan pucak Kawanan). Maka dari itu desa Pekraman Batur ada dua Jero, yaitu Jero Gede Kanginan (dijabat oleh Jero Gede Duhuran Puri Kanginan), dan Jero Gede Kawanan (dijabat oleh Jero Gede Alitan Puri Kawanan).



Nama Gunung Sebelum Bernama Gunung Batur

1. Gunung Cala Lingga (Cala = tidak bergerak dan tidak dibuat oleh manusia; Lingga = Tempat abadi para Dewa)

2. Gunung Sinarata (Merata kena sinar matahari)

3. Gunung TampurHyang/Tempuh Hyang (Tanda Ida Betara dalam perjalanan yang digonggong (dipikul) oleh pamucangan)

4. Gunung Lebah (rendah)

5. Gunung Ederan (dikelilingi Bukit)

6. Gunung Lekeh (meingkar)

7. Gunung Sari (Inti/Utama)

8. Gunung Indrakila (dikelilingi Munduk)

9. Gunung Kembar (berpuncak dua)

10. Gunung Catur (Gunung berempat)

11. Gunung Batur (Gunung Dasar)


Catatan Meletusnya Gunung Batur

Berdasarkan isi lontar Raja Puranan Pura Ulun Danu Batur di Batur bagian Babad Pati Sora dijelaskan pada tahun Candra Sangkala :

  1. Angeseng Sasi Wak yaitu tahun Saka 110 (188 Masehi), Gunung Batur meletus
  2. Wang Sasi Wak yaitu tahun Saka 111 (189 Masehi), Gunung Batur meletus
  3. Tahun Saka 112 (190 Masehi), Gunung Teluk Biyu meletus
  4. Wedang Sumiranting, ksiti yaitu Tahun Saka 114 (192 Masehi), Gunung Batur meletus.
  5. Dari tahun 1804 – 2000 Gunung Batur meletus sebanyak 30 kali. Letusan yang paling dahsyat yaitu pada tanggal 2 Agustus – 21 September 1926 jam 23.00 WITA yang laharnya menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Dengan pertolongan pemerintah Hindia Belanda, para narapidana, serta Batun Sendi Ida Betara (Bayung Gede, Sekardadi, Bonyoh, Selulung, Sribatu, Buahan, Kedisan, Abang, Trunyan, dll) seisi Desa Batur dapat menyelamatkan diri. Termasuk pusaka-pusaka seperti Gong Gede, Semar Kirang bale Pelinggih Mamas-mamas (tombak Lerontek). Semuanya diselamatkan ke Desa Bayung Gede. Setelah pindah ke Di Desa Bayung Gede ini pernah di adakan Puja Wali sebanyak dua kali. Kemudian karena merasa telah aman, penduduk Desa Batur yang sementara mengungsi ke Desa Bayung Gede ingin kembali ke lokasi desa mereka kembali. Namun tidak diijinkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan alasan keselamatan masyarakat. Di tempat baru tersebut, yang disebut Kalanganyar, penduduk Desa Batur diberi lahan dengan ketentuan yang sudah berkeluarga sebanyak 3 are dan untuk Duda/Janda mendapat 1,5 are. Selama menghuni Kalanganyar, para penduduk Desa Batur tetap berupaya membagun kembali Pura Ulun Danu Batur di tempat semula. Setelah beberapa tahun, tepatnya pada bulan April 1935, dilaksanakan Ngusaba Kedesa untuk pertama kali di Pura Ulun Danu Batur yang baru tersebut.

Pada tahun 1963, 6 bulan setelah meletusnya Gunung Agung, terjadi kembali letusan Gunung Batur yang cukup besar. Korban jiwa pada saat itu tidak ada. Letusan ini kembali menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Sehingga semua penduduk mengungsi dan pindah desa ke lokasi desa Batur sekarang ini.

Ada cerita menarik yang disampaikan oleh Jero Gede Alitan Puri Kawanan, yaitu pada saat lahar mau memasuki desa Batur, lahar tersebut berhenti. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk menyelamatkan barang-barang mereka. Bahkan ada yang sempat memanen bawang di ladangnya terlebih dahulu. Setelah semua barang-barang dan hasil kebun mereka selamat, lahar yang tadinya berhenti bergerak kembali menuju arah desa sampai menimbun seluruh desa tersebut.

Setelah pindah desa tersebut, kecuali terkena debu, sampai saat ini tidak pernah terkena dampak langsung dari letusan Gunung Batur.
Sejarah Gunung Agung-Bali

Sejarah Gunung Agung-Bali



Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Pulau Bali. Gunung berapi ini mulanya memiliki ketinggian sekitar 3.142 meter di atas pemukaan laut (dpl), namun setelah meletus pada tahun 1963 diperkirakan ketinggiannya turun menjadi 2.920—3.014 meter dpl. Saat ini, puncak tertinggi Gunung Agung terletak di bagian barat daya, tepat di atas Pura Besakih.

Gunung Agung merupakan sebuah gunung vulkanik tipe monoconic strato yang tingginya mencapai sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi di Bali ini termasuk muda dan terakhir meletus pada tahun 1963 setelah mengalami tidur panjang selama 120 tahun.

Sejarah aktivitas Gunung berapi Agung memang tidak terlalu banyak diketahui. Catatan sejarah mengenai letusan gunung ini mulai muncul pada tahun 1808. Ketika itu letusan disertai dengan uap dan abu vulkanik terjadi. Aktivitas gunung ini berlanjut pada tahun 1821, namun tidak ada catatan mengenai hal tersebut. Pada tahun 1843, Gunung Agung meletus kembali yang didahului dengan sejumlah gempa bumi. Letusan ini juga menghasilkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung.

Sejak 120 tahun tersebut, baru pada tahun 1963 Gunung Agung meletus kembali dan menghasilkan akibat yang sangat merusak. Berdasarkan buku yang dikarang Kusumadinata pada tahun 1979 gempa bumi sebelum letusan gunung berapi yang saat ini masih aktif tersebut terjadi pada 16-18 Februari 1963. Gempa tersebut dirasakan dan didengar oleh masyarakat yang hidup di sekitar Gunung Agung.

Letusan Gunung Agung yang diketahui sebanyak 4 kali sejak tahun 1800, diantaranya : Di tahun 1808 ; Dalam tahun ini dilontarkan abu dan batu apung dengan jumlah luar biasa. 1821 Terjadi letusan normal, selanjutnya tidak ada keterangan. Tahun 1843 Letusan didahului oleh gempa bumi.  Material yang dimuntahkan yaitu abu, pasir, dan batu apung.

Selanjutnya dalam tahun 1908, 1915, dan 1917 di berbagai tempat di dasar kawah dan pematangnya tampak tembusan fumarola. 1963 Letusan dimulai tanggal 18 Pebruari 1963 dan berakhir pada tanggal 27 Januari 1964.  Letusan bersifat magnatis. Korban tercatat 1.148 orang meninggal dan 296 orang luka.

Karakter Letusan
Pola dan sebaran hasil letusan lampau sebelum tahun 1808, 1821, 1843, dan 1963 menunjukkan tipe letusan yang hampir sama, diantaranya adalah bersifat eksplosif  (letusan, dengan melontarkan batuan pijar, pecahan lava, hujan piroklastik dan abu), dan efusif berupa aliran awan panas, dan aliran lava (Sutukno B., 1996).

Periode Letusan
Dari 4 kejadian letusan masa lampau, periode istirahat Gunung Agung dapat diketahui yakni terpendek 16 tahun dan terpanjang 120 tahun.

Letusan 1963 ; Kronologi Letusan tahun 1963.
Lama letusan Gunung Agung tahun 1963 berlangsung hampir 1 tahun, yaitu dari pertengahan Pebruari 1963 sampai dengan 26 Januari 1964, dengan kronologinya sebagai berikut : .

16 Pebruari 1963 : Terasa gempa bumi ringan oleh penghuni beberapa Kampung Yehkori (lebih kurang 928 m dari muka laut) di lereng selatan, kira-kira 6 kilometer dari puncak Gunung Agung.

17 Pebruari 1963 : Terasa gempa bumi di Kampung Kubu di pantai timur laut kaki gunung pada jarak lebih kurang 11 km dari lubang kepundannya.
18 Pebruari 1963 : Kira-kira pukul 23.00 di pantai utara terdengar suara gemuruh dalam tanah.

19 Pebruari 1963 : Pukul 01.00 terlihat gumpalan asap dan bau gas belerang. Pukul 03.00 terlihat awan yang menghembus dari kepundan,makin hebat bergumpal-gumpal dan dua jam kemudian mulai terdengar dentuman yang nyaring untuk pertama kalinya. Suara yang lama bergema ini kemudian disusul oleh semburan batu sebesar kepalan tangan dan diakhiri oleh sembuaran asap berwarna kelabu kehitam-hitaman . Sebuah bom dari jauh tampak sebesar buah kelapa terpisah dari yang lainnya dan dilontarkan lewat puncak ke arah Besakih. Penghuni Desa Sebudi dan Nangka di lereng selatan mulai mengungsi, terutama tidak tahan hawa sekitarnya yang mulai panas dan berbau belerang itu. Di sekitar Lebih, udara diliputi kabut, sedangabu mulai turun.

Air di sungai mulai turun. Air di sungai telah berwarna coklat dan kental membawa batu dengan suara gemuruh, tanda lahar hujan permulaan. Penghuninya tetap tenang dan melakukan persembahyangan. Pukul 10.00 terdengar lagi suara letusan dan asap makin tebal. Pandangan ke arah gunung terhalang kabut, sedang hujan lumpur mulai turun di sekitar lerengnya.

Di malam hari terlihat gerakan api pada mulut kawah, sedangkan kilat sambung-menyambung di atas puncaknya.

20 Pebruari 1963 : Gunung tetap menunjukkan gerakan berapi. 06.30 terdengar suara letusan & terlihat lemparan bom lebih besar. 07.30 penduduk Kubu mulai panik, banyak diantara mereka mengungsi ke Tianyar, sedangkan penghuni dari lereng selatan pindah ke Bebandem dan Selat.

21 Pebruari 1963 : Asap masih tetap tebal mengepul dari kawah.

22 Pebruari 1963 : Kegiatan terus menerus berupa letusan asap serta loncatan api dan suara gemuruh.

23 Pebruari 1963 : Pukul 08.30 sekitar Besakih, Rendang dan Selat dihujani batu kecil serta tajam, pasir serta abu.

24 Pebruari 1963 : Hujan lumpur lebat turun di Besakih mengakibatkan beberapa bangunan Eka Dasa Rudra roboh. Penduduk Temukus mengungsi ke Besakih. Awan panas letusan turun lewat Tukad Daya hingga di Blong.

25 Pebruari 1963 : Pukul 15.15 awan panas turun di sebelah timurlaut lewat Tukad Barak dan Daya. Lahar hujan di Tukad Daya menyebabkan hubungan antara Kubu dan Tianyar terputus. Desa Bantas-Siligading dilanda awan panas mengakibatkan 10 orang korban. Lahar hujan melanda 9 buah rumah di Desa Ban , korban 8 orang.

26 Pebruari 1963 : Lava di utara tetap meleler. Lahar hujan mengalir hingga di Desa Sogra, Sangkan Kuasa. Asap tampak meningkat dan penduduk Desa Sogra, Sangkan Kuasa, Badegdukuh dan Badegtengah mengungsi ke selatan.

Di Lebih hujan yang agak kental dan gatal turun. Lahar terjadi di sekitar Sidemen. Juga lahar mengalir di utara di Tukad Daya dan Tukad Barak. Pukul 18.15 hujan pasir di Besakih. Pangi diliputi hawa belerang yang tajam sekali. Penduduknya mengungsi ke Babandem. Kemudian kegiatan Gunung Agung ini terus menerus berlangsung, boleh dikatakan setiap hari hujan abu turun, sementara sungai mengalirkan lahar dan lava terus meleler ke utara.

17 Maret 1963 : Merupakan puncak kegiatan. Tinggi awan letusan mencapai klimaksnya pada pk. 05.32. Pada saat itu tampak awan letusannya menurut pengamatan dari Rendang sudah melewati zenith dan keadaan ini berlangsung hingga pukul 13.00. Awan panas turun dan masuk ke Tukad Yehsah, Tukad Langon, Tukad Barak dan Tukad Janga di selatan. Di utara gunung sejak pukul 01.00 suara letusan terdengar rata-rata setiap lima detik sekali. Awan panas turun bergumpal-gumpal menuju Tukad Sakti, Tukad Daya dan sungai lainnya di sebelah utara. Mulai pukul 07.40 lahar hujan terjadi mengepulkan asap putih, dan ini berlangsung hingga pukul 08.10.

Pukul 08.00 turun hujan abu, pada pukul 09.20 turun hujan kerikil, dan sementara itu awan panas pun turun bergelombang.

Pada pukul 11.00 hujan abu makin deras hingga penglihatan sama sekali terhalang.

Pada pukul 12.00 lahar yang berasap putih itu mulai meluap dari tepi Tukad Daya. Baru pukul 12.45 hujan abu reda dan kemudian pukul 15.30 suara letusan pun berkurang untuk selanjutnya hilang sama sekali.  Adapun sungai yang kemasukan awan panas selama puncak kegiatan ini adalah sebanyak lk. 13 buah di lereng selatan dan 7 buah di lereng utara.  Jarak terjauh yang dicapainya adalah lebih kurang 14 kilometer, ialah di Tukad daya di utara. Sebelah barat dan timur gunung bebas awan panas.  Lamanya berlangsung paroksisma pertama ini yakni selama lebih kurang 10 jam yakni dari pukul 05.00 hingga pukul 15.00.

21 Maret 1963 : Kota Subagan, Karangasem terlanda lahar hujan hingga jatuh korban lebih kurang 140 orang.  Setelah letusan dahsyat pada tanggal 17 Maret ini, maka aktivitasnya berkurang, sedang suara gemuruh yang tadinya terus menerus terdengar hilang lenyap. Demikian leleran lava ke utara berhenti pada garis ketinggian 501,64 m dan mencapai jarak lebih kurang 7.290 m dari puncak.

16 Mei 1963 : Paroksisma kedua diawali oleh letusan pendahuluan, mula-mula lemah dan lambat laun bertambah kuat.  Pada sore hari 16 Mei, kegiatan meningkat lagi terus meneru, hingga mencapai puncaknya pada pukul 17.07. Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama. Awan letusannya mencapai tinggi kira-kira 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13.  Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara. Jarak paling jauh yang dicapai lebih kurang 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan. Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00. Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama. Awan letusannya mencapai tinggi lebih kurang 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13.  Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara. Jarak paling jauh yang dicapai lk. 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan. Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00.

Nopember 1963 : Tinggi asap solfatara/fumarola mencapai lebih kurang 500 m di ats puncak.  Sejak Nopember warna asap letusan adalah putih.
10 Januari 1964 : Tinggi hembusan asap mencapai 1500 m di atas puncak.
26 Januari 1964 : Pukul 06.50 tampak kepulan asap dari puncak Gunung Agung berwarna kelabu dan kemudian pada pukul 07.02, 07.05 dan 07.07 tampak lagi letusan berasap hitam tebal serupa kol kembang, susul menyusul dari tiga buah lubang, mula-mula dari sebelah barat lalu sebelah timur mencapai ketinggian maksimal lebih kurang 4.000 m di atas puncak.  Seluruh pinggir kawah tampak ditutupi oleh awan tersebut. Suara lemah tetapi terang terdengar pula.

27 Januari 1964 : Kegiatan Gunung Agung berhenti
Produk Letusan 1963 Lahar Hujan: Sesuai dengan letak geografi dari Gunung Agung yang bertindak sebagai penangkap hujan angin tenggara yang menghembus, lahar besar dimulai di lereng utara, kemudian di lereng timur menenggara untuk kemudian lambat laun bergeser ke jurusan barat dan mencapai klimaksnya di lereng selatan baratdaya. Lahar besar ke selatan mulai meluas pada ketinggian 500 m antara Rendang dan padangkerta. Kemudian di bawah Tukad Jangga, yakni di Tukad Krekuk dan Jasi, Bugbug dan akhirnya di Tukad Unda.  Mengingat daerah utara terletak dalam bayangan hujan, laharnya bukan bayangan daripada endapan lepas, yang sebenarnya maksimal jatuh di sebelah sini.

Aliran Lava : Lava yang meleler antara 19 Pebruari dan 17 Maret 1963 mengalir dari kawah utama di puncak ke utara, lewat tepi kawah yang paling rendah, berhenti pada garis ketinggian 505,64 m dan mencapai jarak lebih kurang 7.290 m.  Isi lava tersebut ditaksir sebanyak lebih kurang 339,235 juta m3.

Bahan Lepas : Terdiri dari bom gunungapi, lapili, pasir dan abu, baik berasal dari awan panas letusan maupun dari ledakan kawah pusat. Jumlah seluruhnya selama roda kegiatan berlangsung : Eflata (bom, pasir dan abu) lebih kurang 380,5 . 106 m3, Ladu lebih kurang 110,3 . 106 m3.

Awan Panas Gunung Agung : Di Gunung Agung terdapat dua macam awan panas, yakni awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi pada waktu ada letusan besar. Pada waktu itu maka bagian bawah dari tiang letusan yang jenuh dengan bahan gunung api melampaui tepi kawah dan meluncur ke bawah. Bergeraknya melalui bagian yang rendah di tepi kawah, ialah lurah dan selanjutnya mengikuti sungai. Kecepatan dari awan letusan ini menurut pengamatan dari Pos Rendang adalah rata-rata 60 km per jam dan di sebelah selatan mencapai jarak paling jauh 13 km, yakni di Tukad Luah dan di sebelah utara 14 km di Tukad Daya.

Menurut Suryo (1964) selanjutnya, awan panas guguran adalah awan panas yang sering meluncur dari bawah puncak (tepi kawah). walaupun tidak ada letusan dapat terjadi awan panas guguran. Dapat pula terjadi apabila terjadi bagian dari aliran lava yang masih panas gugur, seperti terjadi pada waktu lava meleler di lereng utara.

Daerah yang terserang awan panas letusan pada kegiatan 1963 terbatas pada lereng selatan dan utara saja, karena baik di barat maupun di sebelah timur kawah ada sebuah punggung. Kedua punggung ini memanjang dari barat ke timur. Awan panas letusan yang melampaui tepi kawah bagian timur dipecah oleh punggung menjadi dua jurusan ialah timur laut dan tenggara. Demikian awan panas di sebelah barat dipecah oleh punggung barat ke jurusan baratdaya dan utara. Awan panas letusan yang terjadi selama kegiatan 1963 telah melanda tanah seluas lebih kurang 70km2 dan menyebabkan jatuh 863 korban manusia.

Korban Kegiatan Gunung Agung
Menurut Suryo (1965, p.22-26) ada 3 sebab gejala yang menyebabkan jatuh korban selama kegiatan Gunung Agung dalam 1963, yakni akibat awan panas, piroklastika dan lahar. Akibat awan panas meninggal 820 orang, 59 orang luka. Akibat Piroklastika meninggal 820 orang, luka 201 orang.  Akibat lahar meninggal 165 orang, 36 orang luka.

Kehebatan dan Energi : Kusumadinata (1964) telah menghitung energi dan kehebatan letusan Gunung Agung tahun 1963 dengan hasil sebagai berikut : kehebatan di level 4, Volume bahan letusan 0.83 km3, berat jenis 2,3 (d), Energi kalor yang dilepaskan 2,189.1025 erg (Eth), Kesetaraan bom atom : 2605,9 (Ae), Kebesaran letusan 8,99. (litbang bb.com/dari berbagi sumber)

Keterangan Foto : Letusan. Gunung Agung 12 Maret 1963 dilihat dari Pertigaan Subagan Karangasem ( K. Kusumadinata, 1963)


10 Kuil Hindu Paling Indah di Dunia

Hinduisme adalah salah satu agama tertua di dunia, dan memiliki lebih dari 900 juta pengikut di seluruh dunia. Meskipun sebagian besar umat Hindu tinggal di India, ada juga sejumlah pengikut Hindu dengan jumlah yang cukup banyak di Nepal, Bangladesh dan negara kita, Indonesia. Bangunan Hindu di India dimulai hampir 2000 tahun yang lalu dan menandai transisi Hindu dari agama Veda. Arsitektur kuil Hindu telah berkembang dan terdiri dari berbagai macam gaya. Kuil-kuil Hindu biasanya didedikasikan untuk salah satu Dewa Hindu utama dan mengandung Murti (citra suci) dari Dewa. Walaupun tidak wajib bagi seorang Hindu untuk mengunjungi sebuah kuil Hindu secara teratur, kuil-kuil tetap memainkan peran penting dalam masyarakat dan budaya Hindu.

1. Tanah Lot
blog-apa-aja.blogspot.com
Terletak di atas sebuah batu karang besar, Tanah Lot merupakan salah satu pura Hindu yang paling terkenal di Bali, dan mungkin juga pura yang paling sering difoto. Tanah Lot telah menjadi bagian dari mitologi Bali selama berabad-abad. Pura di Tanah Lot sendiri adalah salah satu dari 7 kuil laut, yang membentuk rantai sepanjang pantai barat Bali.

2. Kuil Kanchipuram
blog-apa-aja.blogspot.com
Kota 1000 Kuil, Kanchipuram, adalah salah satu kota tertua di India Selatan, dan dikenal karena kuil kuno Hindu dan sari sutranya. Kota ini berisi beberapa kuil besar seperti Kuil Varadharaja Perumal untuk Dewa Wisnu dan Kuil Ekambaranatha yang merupakan salah satu dari lima bentuk tempat tinggal Dewa Syiwa.

3. Kuil Brihadeeswarar
blog-apa-aja.blogspot.com
Kuil Brihadishwara, yang terletak di Thanjavur, India, dibangun oleh Raja Chola yaitu Rajaraja I pada abad ke-11. Kuil ini merupakan kuil pertama di dunia yang keseluruhannya dibangun dari batu granit. Brihadishwara adalah contoh brilian dari gaya arsitektur kuil Dravida. Menara kuil ini memiliki tinggi 66 meter sehingga menjadi salah satu kuil tertinggi di dunia.

4. Khajuraho
blog-apa-aja.blogspot.com
Desa Khajuraho merupakan salah satu tujuan wisata paling populer di India. Di desa ini banyak terdapat kuil Hindu dan Jain dengan patung erotisnya. Kuil-kuil disini dibangun selama rentang waktu 200 tahun, sejak tahun 950 sampai tahun 1150. Beberapa kuil didedikasikan untuk Dewa Jain dan sisanya untuk Dewa Hindu, yaitu Brahma, Wisnu dan Syiwa.

5. Banteay Srei
blog-apa-aja.blogspot.com
Meskipun secara resmi merupakan bagian dari kompleks Angkor Wat, Banteay Srei terletak 25 km di timur laut dari kelompok utama kuil Angkor Wat. Kuil Hindu ini selesai pada tahun 967 dan dibangun sebagian besar dari batu pasir merah, media yang cocok untuk ukiran dinding dekoratif rumit yang masih jelas terlihat saat ini. Banteay Srei adalah satu-satunya kuil utama di Angkor yang tidak dibangun untuk raja, melainkan dibangun oleh salah satu penasihat raja RaJendravarman, yaitu Yajnyavahara.

6. Sri Ranganathaswamy
blog-apa-aja.blogspot.com
Didedikasikan untuk Dewa Ranganatha (salah satu bentuk Dewa Wisnu), Sri Ranganathaswamy di Srirangam, India adalah sebuah kuil penting yang menerima jutaan pengunjung dan peziarah setiap tahun. Dengan luas 156 hektar, Sri Ranganathaswamy adalah salah satu kompleks keagamaan terbesar di dunia.

7. Kuil Virupaksha
blog-apa-aja.blogspot.com
Kuil Virupaksha di kota Hampi di India dimulai sebagai sebuah kuil kecil dan tumbuh menjadi sebuah kompleks besar di bawah penguasa Wijayanagara. Diyakini bahwa kuil ini telah berfungsi tanpa terputus sejak kuil kecil yang dibangun pada abad ke-7 yang membuatnya menjadi salah satu kuil Hindu tertua yang masih berfungsi di India. Menara pintu masuk candi terbesar memiliki tinggi 50 meter.

8. Candi Prambanan
blog-apa-aja.blogspot.com
Candi Prambanan adalah kompleks Candi Hindu terbesar dan paling indah di Indonesia. Terletak sekitar 18 km sebelah timur Yogyakarta. Candi Prambanan memiliki tiga candi utama yang didedikasikan untuk Dewa Wisnu, Brahma, dan Syiwa dan dibangun sekitar tahun 850 oleh Kerajaan Mataram Kuno.

9. Kuil Meenakshi Amman
blog-apa-aja.blogspot.com
Kuil Meenakshi Amman merupakan salah satu kuil Hindu yang paling penting di India, yang terletak di kota suci Madurai. Kuil ini didedikasikan untuk Sundareswar (bentuk Dewa Syiwa) dan Meenakshi (bentuk Dewi Parwati). Di kompleks ini terdapat 14 menara megah termasuk dua Gopuram emas untuk Dewa utama, yang dipahat dan dicat dengan rumit. Kuil ini adalah simbol yang signifikan bagi rakyat Tamil, dan dibangun pada awal abad ke 17.

10. Angkor Wat
blog-apa-aja.blogspot.com
Angkor Wat yang dalam bahasa Indonesia berarti "Kota Kuil", adalah sebuah kompleks kuil yang luas di Kamboja yang menampilkan sisa-sisa kemegahan ibukota dari kerajaan Khmer, dari abad 9 hingga abad ke-15 Masehi. Di dalam kompleks ini terdapat Kuil Angkor Wat yang terkenal, monumen tunggal keagamaan terbesar di dunia, dan kuil Bayon di Angkor Thom dengan banyaknya permukaan batu besar. Selama sejarahnya yang panjang, Angkor mengalami beberapa kali perubahan untuk mengkonversi agama Hindu menjadi Buddhisme